Rabu, 13 Februari 2013

Golongan Putih di Pesta Rakyat



Bukannya aku tidak peduli, melainkan aku sudah mulai jenuh dengan pemberitaan-pemberitaan yang ada. Korupsi dan kemiskinan terus menjadi artis dipanggung negeri ini. Diskriminasi ras dan agama juga membuatku semakin tidak mengerti. Walaupun demikian, pesta rakyat yang akan diadakan 2014 mendatang tetaplah milik kita. Semua warga negara Indonesia pun berhak untuk terlibat dalam perayaan tersebut. 

Sepuluh partai telah terdaftar sebagai peserta pemilu. Namun sejujurnya, sampai saat ini aku masih belum bisa memantapkan pilihanku. Entah mengapa hal itu menjadi begitu sulit. Banyaknya partai membuat hatiku semakin tidak yakin untuk memilih. Hampir semua partai menjual janji yang serupa. Masyarakat pun membeli janji tersebut karena tak punya pilihan lain. Sebenarnya, partai politik bagaikan setan dengan game yang sama, dilingkaran neraka yang sama pula.

Satu hal yang tak dapat dipungkiri. Tahun depan saya diundang ke dalam pesta rakyat tersebut. Sejumlah kriteria ideal seperti anti korupsi, penegak HAM, pecinta lingkungan, anti kekerasan, dan lain sebagainya turut menghiasi daftar. Benar saja, di dunia ini memang tidak ada yang sempurna sekalipun ia seorang calon presiden. Kalau boleh memilih dengan ikhlas, pasti aku akan menjadi abstain voter (Golongan putih). Akan tetapi, tentu saja itu bukanlah keputusan yang bijak. Kita memang merindukan seorang pemimpin yang tidak hanya sekedar mencari pengikut setia, tetapi justru dapat melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Kita merindukan pemimpin yang selalu mengisnpirasi. Kita juga merindukan pemimpin yang dapat membawa kita keluar dari lingkaran setan yang ada di negeri ini.

Menjadi golongan putih, bukan berarti tidak peduli. Mereka hanya terlalu ragu dengan negara ini. Akan tetapi, menjadi seorang golongan putih dan tidak melakukan apa pun merupakan hal yang lebih buruk dari pada tidak peduli. Karena seakan-seakan keraguan telah menjadi pemimpin baru dalam diri mereka.

Aku tahu, bahwa untuk mengubah negara ini bahkan dunia bukanlah hal yang mudah. Namun, kita bisa terus memuntut sesuatu yang tidak selalu dapat diharapkan. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri. Mengubah diri merupakan langkah awal untuk mengubah dunia. Aku berharap semua orang yang membaca tulisan ini tersadar dan terinspirasi. Siapa tahu seorang dari pembaca akan menjadi calon presiden diwaktu yang akan datang. Siapa tahu ia akan menjadi orang yang tidak hanya memantapkan hatiku untuk memilihnya tetapi juga membawa hati masyarakat Indonesia untuk bergerak maju bersamanya. Siapa yang tahu? Hanya Tuhan dan waktu yang akan menjawabnya


much love
Tiuruli Sitorus

Terinspirasi dari diskusi dengan Om Juwanto pada Kamis, 24 Januari 2013 

Minggu, 10 Februari 2013

Stagnan



Suara klakson berbunyi saling saut-sautan. Mesin-mesin kendaraan pun kian memanas. Bukan hanya mesin,  hati orang-orang ini pun mulai terbakar. Terdengar teriakan-teriakan supir, kenek, dan para pengguna jalan lainnya. Bukannya tak punya telinga melainkan telinga ini sudah cukup lelah untuk mendengar suara-suara itu.

Macet. Siapalah yang mau terkurung dalam keadaan stagnan dimana tak mungkin ada celah untuk bergerak ke kanan, ke kiri, ke belakang, apa lagi maju ke depan. Menyebalkan bukan? Semua orang tumpah di jalan. Saling meluapkan kekesalan dengan caranya masing-masing. Ada beberapa orang peduli dan mencoba membantu. Namun apa daya, suara mereka tenggelam diantara mesin kendaraan.

Sejenak keheningan memecah kegaduhan. Ia mengajak kita untuk merenung. Ia seakan menarik kita keluar dari semua sikap acuh selama ini. Unik bukan? Hanya dengan macet orang-orang dari berbagai latar belakang dan kepentingan berbeda yang selama ini saling tidak peduli seakan disatukan oleh sebuah kemacetan. Kemacetan juga seakan menghembusakan nafas dan membangunkan kita dari cara hidup instan, yang selama ini membuat kita lupa bagaimana caranya untuk bersabar.

Akan tetapi, sepertinya keadaan macet tidak selalu menyebalkan. Buktinya ada beberapa orang yang merasa nyaman dalam zona macet pada kehidupan. Hal ini terbukti karena ada beberapa orang yang stagnan dan tidak ada keinginan atau usaha untuk maju ke depan. Mereka  memiliki pemikiran yang tertutup sehingga tak punya kesempatan untuk menemukan jalan, untuk keluar dari kemacetan. Merasa nyaman di zona macet tidak akam membuat hidup kita menjadi lebih bermakna. Sama seperti macet di jalan, macet di kehidupan juga berarti menghambat dan membung-buang waktu. Maka, yang perlu kita lakukan adalah keluar dari comfort-zone dan menemukan cara untuk melanjutkan perjalanan.

Ya, hidup bukanlah sebuah balapan. Hidup adalah sebuah perjalanan atau petualangan yang harus dinikmati setiap langkahnya. Memang, tak seorang pun tahu jalan mana yang akan membawa kita kepada Tuhan. Namun, setiap orang punya otonomi untuk merencanakan petualangan dan menentukan tujuan akhir dalam hidpunya.


much love
Tiuruli Sitorus

Terinspirasi dari kemacetan yang cukup mengacaukan hariku pada  Sabtu, 9 Februari 2013.