Kamis, 25 April 2013

Mau Dibawa Kemana Ujian Nasional?

 Sumber gambar: Koran FB

Saat menulis tulisan ini,  muncul wajah cemas menghiasi jutaan siswa kelas XII SMA dan IX SMP di seluruh Indonesia. Pertanyaan besar turut meresahkan hati. Akankah perjuangan mereka untuk ujian nasional tidak akan sia-sia? atau memang seharusnya ujian nasional ditiadakan?

Berangkat dari kecurigaan pemerintah terhadap para siswa. Ujian nasional yang ada dengan berbagai macam variasi soal, menujukan secara terang-terangan bahwa pemerintah menganggap semua siswa adalah maling. 'Maling teriak maling'. Statement tersebut yang pantas diberikan kepada pemerintah. Tidak berlebihan jika kita menyebut pemerintah juga adalah maling. Hal ini terbukti dengan banyaknya korupsi di negeri ini. Jika pemerintah tidak dapat memercayai siswa-siswinya, bagaimana  siswa-siswi tersebut dapat dipercaya untuk membangun masa depan bangsa yang lebih baik.

Selain itu terdapat sebuah paradoks. Pemerintah memaksa untuk menyelenggarakan ujian nasional di setiap daerah di Indonesia, padahal pemerintah sendiri belum mampu menyediakan pendidikan yang merata secara nasional di seluruh pelosok negeri ini. Aneh bukan? Pemerintah ingin ujian yang berstandar tetapi belum mampu menyediakan pendidikan yang standar pula.

Belum lagi ujian nasional memberi dampak secara psikis baik kepada siswa, guru, orang tua dan masyarakat. Saat negara memaksa ujian nasional untuk diimplementasikan sebenarnya pemerintah sedang melakukan kekerasan secara psikis. Mengapa demikian? Karena banyak siswa yang merasa terbeban dengan adanya ujian nasional, terlebih bagi mereka yang berada di daerah yang pendidikannya terbelakang. Bukan hanya terbeban karena materi yang dipelajari, melainkan juga rasa takut akan lembar jawab komputer yang disediakan. Ujian nasional telah menghilangkan esensi dari pendidikan. Karena para murid hanya semata-mata mengejar nilai dari pada ilmu. Terbuka peluang dimana para siswa akan menghalalkan segala cara untuk medapatkan nilai yang membanggakan. Ini adalah mindset yang perlu diubah. Seharusnya ilmu diletakkan jauh diatas nilai. Karena nilai hanyalah sebuah angka. 

Rasa takut juga menyelimuti para guru dan orang tua. Tidak heran jika terdapat beberapa kasus dimana siswa terlihat jelas menyontek tetapi pengawas hanya diam dan membiarkan hal itu terjadi. Karena ujian nasional berpengaruh besar pada kelulusan dan kelulusan sejalan pengaruhnya dengan image sekolah. Guru yang membiarkan kasus tersebut terjadi sebenarnya hanya ingin menyelamatkan siswa dan nama baik sekolah. Namun, kita sepakat bahwa itu bukanlah cara yang benar. Secara tidak langsung ujian nasional turut membentuk karakter bangsa ini. Sayangnya, karakter yang terbentuk adalah karakter penakut, pencuri, pembohong, dan tidak percaya diri.  
"Bagaimana kita yang tidak seragam ini dipaksa untuk diseragamkan"
Jika dipahami secara bijak, sebenarnya ujian nasional bukanlah indikator yang tepat untuk mengukur kemampuan siswa. Terdapat sebuah analogi yang dapat menggambarkan kondisi ini. Hal ini sama ketika terdapat sebuah kompetisi memanjat. Kompetisi tersebut diikuti oleh monyet, gajah, ikan, burung, dan harimau. Dapat dipastikan bahwa kompetisi memanjat bukan indikator yang pas untuk mengukur kemampuan dari masing-masing hewan tersebut karena masing-masing hewan memiliki kemampuannya yang berbeda-beda. Bagaimana kita yang tidak seragam ini dipaksa untuk seragam. Bagaimana mungkin siswa-siswi yang mempunyai talenta yang berbeda dipaksa untuk mengaplikasikanya dengan cara yang sama. Jelas, ini bukanlah bentuk dari sebuah keadilan.  Kecerdasan yang dimiliki setiap siswa adalah unik. Seharusnya kecerdasan itu dapat dikembangkan dengan cara yang unik pula.

Tujuan pendidikan nasional secara jelas tepampang dalam UUD 1945. "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" Apakah Ujian nasional dapat dijadikan patokan untuk mencapai tujuan tersebut? Jawabannya tidak. Selain karena alasan-alasan yang telah diuraikan diatas, sebenarnya pemerintah juga belum mampu untuk menyelenggarakan ujian nasional. Hal ini terbukti dengan kacaunya ujian nasional 2013. Mulai dari soal dan lembar  yang kurang, kode yang tertukar hingga penundaan penyelengaraan ujian nasional di 11 provinsi di Indonesia. Ketika ujian nasional diselenggarakan tidak secara bersamaan di seluruh negeri, apakah masih bisa disebut dengan ujian nasional? Sepertinya lebih baik kita menyebutnya dengan ujian daerah.    Sebaiknya pula bila ujian nasional ditiadakan. Tahun ini dana yang dikucurkan untuk ujian nasional sekitar 500 M. Bisa dibayangkan berapa banyak anak yang bisa mendapat beasiswa. Berapa banyak sekolah yang dapat dibangun. Berapa banyak fasilitas yang dapat diberikan untuk menunjang pendidikan yang lebih berkualitas. Yang jelas jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit.

Menyedihkan, Sistem pendidikan di negeri ini hanya disusun berdasarkan idealisme dan mengabaikan realitas yang ada. Pertanyaan yang tepat selanjutnya bukan hanya "Mau dibawa kemana Ujian Nasional?", melainkan ""Mau dibawa kemana para generasi  penerus sekarang ini?



much love
Tiuruli Sitorus


Terinspirasi dari diskusi dengan Om Juwanto dan sahabat-sahabatku di YEC, Kamis 25 April 2013