Kamis, 08 Agustus 2013

Buku Harian vs Sosial Media

"Kertas jauh lebih sabar dari pada orang."
Ungkapan ini muncul berpuluh-puluh tahun lalu, ketika remaja lebih memilih untuk tertidur disamping buku seperti diary ataupun novel. Berpuluh-puluh tahun yang lalu, kertas menjadi begitu berharga. Banyak orang yang menorehkan segala perasaan dan isi hatinya diatas kertas atau yang sering kita sebut dengan buku harian. Buku harian pun menjadi saksi setiap peristiwa dalam hidup seseorang. Bahkan, ada satu tokoh yang begitu terkenal sampai sekarang karena buku hariannya, yaitu Anne Frank.

Gadis Kecil yang bersembunyi dari Kejaran Nazi ini  menuliskan seluruh pengalaman hidupnya selama 25 bulan di "Pavilium Rahasia". Terputus dari dunia luar, mengalam kelaparn, kejemuan, tekanan tiada henti karena ruang gerak terbatas, dan ancaman ditemukan serta kematian yang selalu membayangi. Buku harian yang diberinya nama "Kitty", selalu siap mendengar segala tumpahan isi hati dari Anne. Pemaparannya menyentuh perasaan, terkadang menggemaskan dan lucu, mengisahkan pengalaman hidup, keberanian dan kerentanan manusia, cita-cita dan harapan, kisah cinta dan persahabatan, serta potret seorang gadis remaja yang penuh semangat.

Buku harian Anne menjadi karya klasik dunia dan menjadi peringatan akan betapa kejamnya perang sekaligus kesaksian atas betapa dasyatnya semangat hidup manusia. Seperti sebuah pepatah bahasa latin: Verba volant, scripta manent (yang terucap bakal lenyap, yang tertulis akan abadi.



Sekarang kita memang tinggal dimasa yang berbeda dengan Anne Frank ketika ia menulis buku harian. Remaja saat ini menjelajah dunia hanya dalam satu genggaman. Ungkapan "Kertas jauh lebih sabar dari pada orang" telah berubah menjadi "Teknologi jauh lebih sabar dari pada orang." Hal ini terbukti dengan banyaknya pengguna sosial media di dunia. Keluh kesah berubah menjadi status, peristiwa berubah menjadi tweet, dan setiap moment berubah menjadi gambar. Buku harian sudah mulai menghilang dari peradaban. Disatu sisi, segala kemudahan saat ini sangat membantu perkembangan informasi dan komunikasi. Namun, jangan salah, teknologi dapat membuat mereka yang jauh menjadi dekat dan mereka yang dekat menjadi jauh. 

Tak jarang kemudahan ini bukannya mempercepat perkembangan remaja, melainkan memotong kesempatan remaja untuk merenungkan dan merefleksikan segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya. Seringkali mereka menganggap update itu lebih penting dari pada moment itu sendiri. Buku harian bukan sahabat anak zaman sekarang. Gadgetlah sahabat mereka. Buktinya, sekarang mereka jauh lebih memilih untuk tidur disamping gadget tersebut.

Akan tetapi, tidak selamanya gadget dan sosial media menjadi sahabat yang baik. Seringkali sosial media perlahan-lahan menelan seorang remaja baik dari dalam maupun dari luar. Buku harian memang menjadi pendengar yang baik, tetapi sosial media lebih cenderung menjadi komentator yang sok tahu. Banyak pribadi rentan yang menggunakan sosial media. Padahal, sosial media itu sendiri memang begitu rentan untuk banyak pribadi.

Tulisan ini memang dibuat tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Namun, penulis berharap para pembaca dan masyarakat luas dapat merenungkan sendiri mengenai sosial media dan dampaknya bagai kehidupan. Sosial Media itu tidak buruk, tetapi ia membutuhkan suatu perenungan supaya bisa menjadi baik. Selain itu, penulis juga berharap akan banyak orang yang lebih terinspirasi dari buku harian Anne Frank. Kisah hidup Anne Frank memang luar biasa, tetapi saya yakin bahwa setiap orang memiliki kisah hidupnya sendiri yang juga luar biasa, karena kisah kehidupan manusia telah ditulis oleh seorang scriptwriter paling profesional, yaitu "Tuhan". Sebaiknya, kita menghargai setiap peristiwa dalam hidup kita dan menjadikannya jauh lebih bermakna.

Sincerely,
Tiuruli Sitorus


Terinspirasi dari buku harian Anne Frank