Minggu, 16 Desember 2012

Dendam Untuk Dunia yang Tidak Pernah Memihakku



Aku tak tahu apa yang aku rasakan. Rasa ini adalah rasa sakit luar biasa. Namun, rasa ini lebih dari pada rasa sakit, yaitu rasa tidak diterima. Dunia tidak pernah memihakku bahkan sampai hari ini. Dendam telah menjadi bagian dari identitasku. Pagi ini, aku memandang ibuku dari kejauhan. Aku tak tahu mengapa, tetapi hatiku begitu marah. Tanpa akal ku ambil senjata milik ibu lalu kuarahkan kepadanya. Tiba-tiba sesuatu mendorong jari-jariku. Sesaat kemudian terdengar suara tembakan yang begitu mengejutkan. Lalu, aku menyadari bahwa ibuku telah bersimbah darah, terkulai lemas, dan hampir tak bernyawa. Pemandangan yang begitu menakutkan, tetapi entah mengapa hatiku begitu puas melihatnya.

Kukendarai mobilku sehingga melesat begitu cepat. Aku melaju menuju SD Sandy Hook tempat ibuku mengajar. Dendamku sudah melebihi akalku. Dari dulu aku begitu membenci sekolah. Aku merasa tidak pernah dihargai disana. Sekolah yang seharusnya sebagai tempatku menghidupkan semua bakatku malah membuatku mati setiap hari dengan olokkan dan penolakan-penolakan. Saat itu sekolah sudah dikunci dengan protokol keamanan. Namun, dengan otakku aku berhasil membuka protokol keamanan itu dan masuk ke ruang kepala sekolah. Aku melihat seorang lelaki penuh wibawa disitu. Kebencian mulai mengendalikanku. Kembali kuarahkan senapanku kepadanya. Namun, kali ini dengan sadar aku mendorong jari-jariku sehingga peluru melesat tepat kearah kepalanya. Tak ada rasa takut pada diriku, aku justru merasa bangga dapat melakukan hal itu.

Aku masuk ke beberapa ruang kelas. Beatapa hatiku kembali sedih, melihat anak-anak kecil yang begitu ceria. Aku iri, karena aku tak pernah mersakan kebahagiaan yang seperti itu. Kulepaskan peluru bagai angin yang bertiup kian kemari. Aku tak peduli, bagiku mereka bukan siapa-siapa, sama seperti mereka yang menganggapku bukan siapa-siapa. Kulihat sekelilingku, ada perasaan bahagia menyelimutiku ketika kulihat semua orang dalam kelas itu tewas. Aku merasa puas, karena itu berarti aku telah memutus kebahagiaan anak-anak tersebut, tentunya bukan hanya kebahagiaan mereka melainkan juga orang tua mereka. Aku ingin orang-orang merasakan semua rasa sakit yang aku rasakan.

Aku mengamati beberapa guru yang mencoba untuk terlihat berani, walaupun aku tahu bahwa hati mereka sangatlah takut. Hatiku cukup teriris melihat seorang guru yang berhasil menyelamatkan seorang murid dari tembakkanku. Peluru itu hanya melesat didekatnya di selasar sebelum gurunya menariknya untuk berlindung. Aku juga melihat seorang guru yang berusaha menenangkan dirinya dan membawa murid-muridnya yang berusia sekitar 6-7 tahun untuk bersembunyi ke toilet. Betapa guru itu mengasihi murid-muridnya dan aku pun menyadari bahwa aku tak pernah merasakan kasih yang seperti itu. Aku mendengar beberapa murid mulai menangis, tetapi sang guru berusaha menenangkan mereka dan berkata "Semua akan baik-baik saja". Seakan-akan sang guru itu ingin kata-katanyalah yang terakhir mereka dengar bukan suara senapan. Kata-kata sang guru yang begitu menenangkan menusuk jauh ke dalam hatiku. Sedih rasanya mengingat tak pernah ada orang yang berkata demikian kepadaku. Biasanya orang-orang hanya mampu melemparkan rasa kesal dan kata-kata ocehan kepadaku. Maka, jangan salahkan aku ketika aku hanya bisa membalas semua itu dengan rasa kesal dan dendam.

Sesaat aku terduduk lemas. Aku merenungi hidup yang tak pernah memihakku sekalipun. Tiba-tiba aku melihat ibu berdiri disampingku. Terbesit rasa rindu yang mendalam. Lalu, ia memelukku begitu hangat. Belum pernah aku merasa sedamai ini. Aku medengar suara senapan begitu dekat dengan jantungku. Tubuhku pun terasa ringan, ringan dan semakin ringan.


much love
Tiuruli Sitorus

Teinspirasi dari kasus penembakan brutal di SD Sandy Hook, Newtown, Negara Bagian Connecticut, Jumat (14/12) pagi waktu setempat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar